Perusahaan swasta AS menawarkan perjalanan komersial ke bulan untuk negara atau pribadi dengan biaya US$1,5 miliar.
WASHINGTON — Sekelompok mantan eksekutif lembaga antariksa AS NASA menawarkan perjalanan komersial ke bulan dengan biaya US$1,5 miliar.
Usaha yang disebut Golden Spike Co. mengumumkan pada
Kamis (6/12), bahwa
mereka menawarkan negara-negara kesempatan untuk mengirimkan dua orang
ke bulan kemudian kembali lagi, baik untuk riset maupun prestis
nasional.Usaha yang disebut Golden Spike Co. mengumumkan pada
Jika Anda miliarder, Anda tinggal membayar biaya tersebut untuk perjalanan selama dua hari pulang pergi.
Namun beberapa ahli antariksa ragu akan kemampuan finansial perusahaan tersebut untuk pergi ke bulan. Puluhan perusahaan luar angkasa swasta telah dibentuk baru-baru ini, namun hanya sedikit, jika ada, yang dapat berhasil, sama saja seperti bidang lain, ujar astronom dari Harvard, Jonathan McDowell.
Kunjungan terakhir NASA ke bulan adalah tepat 40 tahun lalu hari ini (7/12). Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara yang telah mengirimkan orang ke orbit Bumi ini, mengalahkan Uni Soviet dalam kompetisi luar angkasa. Namun ketika kompetisi berakhir, minat pergi ke bulan menjadi berkurang.
Presiden Barack Obama membatalkan rencana NASA untuk kembali ke bulan karena Amerika sudah pernah ke sana. Pada Rabu (5/12), Akademi Sains Nasional mengatakan lembaga antariksa nasional itu tidak memiliki tujuan atau arah yang jelas untuk penjelajahan manusia di masa depan.
Namun para mantan pejabat NASA di belakang Golden Spike mantap dengan rencananya kembali ke bulan.
Perusahaan tersebut telah berbicara dengan negara-negara lain yang memperlihatkan ketertarikannya, ujar mantan wakil pengelola NASA Alan Stern, yang juga merupakan presiden Golden Spike.
Stern mengatakan ia mencari negara seperti Afrika Selatan, Korea Selatan dan Jepang. Seorang individu yang kaya raya, ujarnya, tertarik dengan program tersebut, namun pasar utama perusahaan adalah negara asing.
“Ini bukan soal menjadi yang pertama, tapi menjadi anggota kelompok yang pernah pergi ke bulan. Kita membersihkan apa yang NASA lakukan pada 1960an. Sekarang kita menjadikannya komoditas pada 2020.”
Nilai jual yang diberikan adalah: “daya tarik seksual terbang menjadi astronot,” ujar Stern.
Banyak negara memang mau mengeluarkan jutaan dolar untuk menerbangkan astronot mereka dengan stasiun luar angkasa Rusia Mir dan pesawat ulang alik Amerika pada 1990an, namun harga satu miliar dolar rasanya terlalu mahal, ujar McDowell dari Harvard.
Juru bicara NASA David Weaver mengatakan perusahaan baru tersebut “merupakan bukti lanjut dari kebijakan luar angkasa pemerintahan Obama” yang mencoba memupuk perusahaan antariksa komersial.
Pergi ke bulan memerlukan beberapa langkah: Dua astronot akan meluncur ke orbit Bumi, menghubungkan mereka dengan mesin lain yang akan mengirim mereka ke orbit bulan. Di sekitar bulan, kru tersebut akan mengaitkan diri dengan pengorbit bulan dan mendarat di permukaan bulan.
Perusahaan tersebut akan membeli roket dan kapsul yang sudah tersedia untuk peluncuran, ujar Stern, dan kemudian membuat baju luar angkasa dan pendarat bulan.
Stern mengatakan peluncuran pertama akan dilakukan sebelum akhir dekade ini dan kemudian ada 15 sampai 20 peluncuran total. Peluncuran pertama memerlukan biaya antara $7 miliar sampai $8 miliar.
Selain harga tiket, sumber penghasilan lain didapat dari iklan, hak penyertaan nama dan hak pemutaran video.
Secara teknis mungkin dapat dilakukan, namun secara finansial tampaknya sulit, ujar mantan pengelola NASA Scott Pace, direktur kebijakan luar angkasa di George Washington University. Masalah risiko dan uji peluncuran saja sudah sangat mahal, ujarnya.
Ketua dewan direksi perusahaan, Gerry Griffin, direktur penerbangan Apollo yang pernah mengepalai Pusat Antariksa Johnson, menyetujui pendapat Pace.
Perusahaan itu sendiri dipenuhi veteran luar angkasa. Penasihat perusahaan termasuk astronot veteran, sutradara Hollywood, mantan ketua DPR Newt Gingrich, mantan duta besar PBB Bill Richardson dan penulis/insinyur Homer Hickam. (AP/Seth Borenstein)
No comments:
Post a Comment